BANDA ACEH - Eksploitasi tambang pasir besi di Gampong Jantang dan Tuha Peuet, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, oleh PT Lhoong Setia Mining (LSM) ditutup sementara selama seminggu untuk menyelesaikan berbagai persoalan antara apa yang dituntut masyarakat dengan apa yang seharusnya menjadi kewajiban pihak penambang.
“Penutupan sementara dimaksudkan agar hal-hal yang selama ini menjadi kendala dalam eksploitasi pasir besi antara PT LSM dengan masyarakat Lhoong dapat diselesaikan secara tuntas,” kata Ketua DPRA, Hasbi Abdullah seusai rapat tertutup dengan pihak PT LSM di ruang Komisi B DPRA kepada Serambi, Selasa (16/2) sore.
Penghentian temporer eksploitasi pasir besi itu, menurut Hasbi, telah disetujui manajemen PT LSM, Alfian yang hadir dalam rapat. Ia akan merespons berbagai tuntutan masyarakat Lhoong, terutama soal ganti rugi tanah warga yang akan dijadikan areal tambang besi. Selain itu, ada beberapa kewajiban lain, misalnya, tentang reklamasi lahan yang telah digali maupun soal penataan lingkungan dan jalur hijau.
Rapat terpadu antara PT LSM dengan masyarakat Lhoong itu dihadiri Wakil Gubernur (Wagub) Aceh Muhammad Nazar, anggota DPRA, Wakil Bupati Aceh Besar Anwar Ahmad, dan sejumlah anggota DPRK Aceh Besar. Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPRA Bidang Pemerintahan dan Hukum, Amir Helmi SH itu bertujuan untuk menyelesaikan pembayaran lahan yang belum tuntas antara PT LSM dengan masyarakat Jantang dan Tuha Peuet, yang akan dijadikan areal penambangan pasir besi oleh PT LSM.
Masyarakat di dua desa itu menolak pembayaran tanahnya oleh PT LSM, karena harga yang ditetapkan antara Rp 5.000-Rp 10.000/m, dinilai terlalu murah. Mereka bandingkan, saat tanah masyarakat Lhoong dibebaskan untuk pelurusan jalan baru yang dibiayai USAID, Pemerintah Aceh membayar Rp 40.000-Rp 70.000/m2.
Selain itu, masyarakat sekitar lokasi tambang meminta supaya PT LSM meningkatkan peran community development (CD)-nya untuk masyarakat di sekitar tambang. Pihak Perwakilan PT LSM, Jery yang hadir dalam pertemuan terpadu itu mengatakan, harga ganti rugi tanah senilai Rp 5.000-Rp 10.000/m2 untuk dijadikan areal tambang pasir besi itu, justru atas kesepakatan dengan masyarakat setempat. Malah sebagian masyarakat sudah menerima pembayaran, tapi sebagian lagi menolak karena menghendaki harga yang tinggi, Rp 50.000/m2.
Jery menegaskan, dalam pembebasan tanah masyarakat di kawasan itu, tidak ada intimidasi. Jika ada yang mengintimidasi, dia persilakan melapor kepada aparat kemanan setempat, agar pihak manajemen PT LSM diproses secara hukum. Sampai kini, kata Jery, belum ada panggilan dari aparat keamanan terhadapnya mengenai apa yang telah ditudingkan sekelompok masyarakat Lhoong kepada pihak manajemen PT LSM.
Terkait masalah perizinan, kata Jery, semua izin operasi PT LSM-- mulai dari izin eksplorasi sampai izin eksploitasi, pengangkutan dan penjualan, maupun pengeksporannya-- telah ada, bahkan kehadiran PT LSM di Lhoong, telah menambah pendapatan asli daerah (PAD) Aceh Besar melalui sumber pembayaran dana donatur. Nilainya juga mencapai ratusan juta rupiah.
Kecuali itu, kata Jery, perusahaannya juga telah membayar royalti kepada pemerintah pusat mencapai miliaran rupiah. Jadi, katanya, berbagai hal yang menjadi kewajiban perusahaannya, baik kepada pemerintah pusat, kabupaten, maupun masyarakat setempat telah dilaksanakan secara bertahap. Menyikapi penjelasan manajemen PT LSM itu, Wagub Aceh Muhammad Nazar mengatakan, Pemerintah Aceh sangay proinvestasi. Jika ada pihak yang ingin menanamkan investasinya di Aceh, akan diberikan kemudahan dalam pengurusan izin.
Namun demikian, katanya, perusahaan yang telah diberi izin investasi dan operasi dalam melaksanakan kegiatan investasinya, seperti PT LSM yang melakukan penambangan pasir besi di Desa Jantang dan Tuha Peuet, haruslah melakukannya dengan cara-cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pelestarian lingkungan hidup dan kawasan hijau, kata Wagun, juga harus menjadi komitmen utama bagi PT LSM. Tujuannya, agar kehadirannya memberikan kesejahetraan bagi masyarakat Lhoong, bukan malah sebaliknya. Wakil Ketua DPRA, Amir Helmi mengatakan sependapat dengan apa yang disampikan Wagub Aceh. PT LSM harus memenuhi kewajibannya. Antara lain, membayar dana reklamasi.
Menurut Wakil Bupati Aceh Besar, Anwar Ahmad, dana ini belum dibayar. Yang sudah dibayar PT LSM adalah dana royalti dan donatur. Dana reklamasi itu wajid dibayar, karena fungsinya untuk merehabilitasi lokasi tambang yang dieksploitasi PT LSM. Mengenai masih adanya masyarakat yang menolak harga pembebasan tanahnya oleh PT LSM, Pemkab Aceh Besar bersama Badan Pertanahan Negara (BPN) perlu menjembataninya, berapa yang layak bisa dibayar untuk lokasi tambang pasir besi itu.
Selain itu, penggunaan tenaga kerja asing juga harus didaftarkan ke bagian Imigrasi dan Dinas Mobilitas Penduduk/Tenaga Kerja Aceh dan Aceh Besar. Wakil Bupati Aceh Besar, Anwar Ahmad mengatakan, sebagian hal yang menjadi kewajiban PT LSM memang telah diiselesaikannya tepat waktu, tapi untuk dana reklamasi sebagaimana yang telah diwajibkan dalam UUPA, belum dibayar. Kritik pedas lainnya juga disampaikan Wakil Ketua Komisi B DPRA, Darmuda. Ia berharap, PT LSM harus jujur, transparan, serta patuh pada aturan dalam melaksanakan manajemen tambang pasir besinya.
Mengandung emas
Sementara itu, dalam rapat siang sebelumnya, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh, Ir Said Ikhsan menyatakan, lokasi tempat pengambilan pasir besi PT LSM di Gampong Jantang dan Tuha Peut, Aceh Besar itu diperkirakan mengandung unsur Au (emas) dan Zu (tembaga) serta unsur logam berharga lainnya. “Kandungan unsur emasnya memang ada, tapi karena persentasenya sangat rendah, jadi tidak ekonomis bila dieksploitasi,” ujar Said Ikhsan.
Terkait dengan itu, Darmuda berpendapat, jika dalam tambang pasir besi PT LSM ditemukan unsur emas dan logam lainnya, maka harus disampaikan kepada Pemerintah Aceh dan Aceh Besar. “Dalam penambangan pasir besi ini, antara investor, masyarakat, serta pemerintah harus saling membantu dalam mencari keuntungan yang menjadi haknya masing-masing, tapi pelaksanannya harus pula ramah lingkungan,” demikian Darmuda. Hal senada juga diungkapkan anggota DPRA lainnya, Usman Muda dan Jamaluddin T Muku, serta Ketua Komisi B DPRK Aceh Besar, Muliadi.
Readmore »»»»