Serambi Indonesia, 20-4-2010
TAPAKTUAN-Sejumlah usaha pertambangan yang kini sedang melakukan operasionalnya di Aceh, ternyata mulai menimbulkan masalah sosial dan kekhawatiran akan rusaknya lingkungan hidup. Akibatnya, izin penambangan yang sudah terlanjur dikeluarkan untuk sejumlah perusahaan itu, minta dicabut kembali.
Kedua aksi unjuk rasa yang berlangsung secara terpisah itu, masing-masing terjadi di Tapaktuan (Aceh Selatan) dan di Banda Aceh. Massa unjuk rasa di DPRK Aceh Selatan mendesak pemkab setempat untuk mencabut izin yang sudah dikeluarkan untuk usaha penambangan bijih besi dan emas di wilayah itu. Hal yang sama juga dilakukan massa demonstran ke DPRA di Banda Aceh, terkait penambangan bijih besi di kawasan Lhoong, Aceh Besar.
Dari Tapaktuan dilaporkan, sekitar 50 aparatur desa dalam Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, Senin (19/4) berdelegasi ke DPRK setempat. Kehadiran mereka ke gedung dewan itu, mendesak Pemkab setempat untuk menutup sementara perusahaan pertambangan yang beroperasi di Desa Simpang Dua Manggamat.
Dalam pertemuan yang berlangsung sekira 2 jam itu, para kepala desa menyampaikan keluhannya sejak kehadiran dua perusahaan penambang hasil alam, yakni PT Pinang Sejati Utama (PSU) sebagai penambang bijih besi dan PT Multi Mineral Utama (MMU) sebagai penambang emas di kawasan itu yang mereka nilai telah mengakibatkan kehidupan masyarakat disekitar menjadi terganggu.
Sebab sejak perusahaan itu beroperasi, telah mengakibatkan sarana dan prasaran di daerah itu menjadi rusak. Seperti jalan lintasan Manggamat-Kutafajar sepanjang 15 km yang baru setahun dilapisi aspal hotmix hancur akibat sering dilintasi armada angkutan material hasil pertambangan yang dinilai kerap melebihi tonase.
Bukan itu saja, aktivitas pertambangan itu juga telah mengakibatkan sejumlah sungai mengalami pendangkalan, sehingga kebutuhan air bersih yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat setempat sangat sulit untuk didapati. “Aktivitas penambangan itu juga telah menganggu kententraman masyarakat setempat, sebab armada pengangkut material tambang itu kerap beroperasi hingga larut malam,” kata seorang peserta aksi unjuk rasa itu.
Pertemuan yang mendapat pengawalan ketat dari polisi Polres Aceh Selatan itu sempat tegang dan nyaris ricuh, karena jawaban yang disampaikan Ketua DPRK Safiron tidak sesuai dengan apa yang diharapkan aparatur desa, sehingga sejumlah anggota Dewan lainnya yang ikut dalam pertemuan itu terpaksa turun tangan meluruskan persoalan yang sedang didiskusikan.
Bacakan tuntutan
Suasana mencair setelah Kepala Mukim Manggamat, Muhammad Jasa tampil membacakan tuntutan yang telah disepakati oleh 13 aparatur desa dalam kecamatan itu. Tuntutan pertama ditujukan kepada PT PSU sebagai penambang bijih besi, antara lain, menuntut pencabutan penggunaan ruas jalan Simpang Tiga Kluet Tengah menuju Kuta Fajar oleh armada pengangkutan milik PT PSU.
Sebagai investor harus membangun pabrik pengolahan bijih besi sebagai bahan mentah menjadi bahan setengah jadi di area pertambangan. Memperhatikan tata ruang, terutama sungai yang menjadi sumber bagi air bagi masyarakat setempat. Mereka juga meminta supaya PT PSU memberikan beasiswa kepada peserta didik yang kurang mampu dan berprestasi. Serta memperhatikan sarana dan prasarana keagamaan.
Sementara kepada PT MMU, masyarakat Kluet Tengah meminta kepada DPRK untuk meninjau ulang keberadaan perusahaan itu. Meminta pihak PT MMU mempertanggung jawabkan keberadaannya sejak 2007 lalu hingga sekarang secara terbuka di depan DPRK. Serta mengembalikan pengelolalaan tambang kepada rakyat dan diatur sebagaimana mestinya. “Selama proses penyelesaian tuntutan, pemerintah setempat wajib menutup sementara kegiatan pertambangan,” pinta warga.
Sebelumnya, pada Minggu (18/4) malam satu unit mobil pengangkut bahan baku bijih besi milik PT PSU terbakar di persimpangan jalan Desa Paya Ateuk, Kecamatan Pasie Raja. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, namun bagian depan mobil jenis Cold itu hangus terbakar. Sejauh ini belum diketahui pasti penyebab terbakarnya mobil tersebut.
Warga Lhoong
Aksi unjuk rasa juga dilakukan ratusan warga Kecamatan Lhoong, Aceh Besar dan mahasiswa ke Gedung DPRA, Banda Aceh, Senin (19/4) kemarin. Massa mengatasnamakan Komite Masyarakat Lhoong (KML) menuntut Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Besar menutup pengelolaan tambang bijih besi dikelola PT Lhoong Setia Minning (LSM) di Desa Jantang, Kecamatan Lhoong.
Juru bicara aksi, Muhajir dalam orasinya menyebutkan demo itu untuk kedua kalinya mereka lakukan. Sebelumnya aksi serupa digelar di depan perusahaan itu, 18 Maret lalu. Menurut Muhajir, kedua aksi itu mereka lakukan karena selama ini pihak PT LSM tidak melaksanakan komitmennya menghentikan kegiatan penambangan, sesuai hasil rapat antara masyarakat dengan manajemen PT LSM, dihadiri Wakil Gubernur Aceh, Ketua DPRA, Wakil Bupati Aceh Besar, dan sejumlah anggota DPRA dan DPRK Aceh Besar, 16 Februari 2010.
Menurut Muhajir, pengelolaan tambang bijih besih yang sudah tiga tahun itu hanya menimbulkan masalah bagi warga Lhoong. “Masyarakat Lhoong sama sekali tidak merasakan manfaat dari penambangan itu. Yang dirasakan adalah debu-debu hasil ledakan yang mencemari udara, pemukiman, sumur, dan air Krueng (Sungai) Geunteut,” teriak Muhajir.
Surati Gubernur
Menyikapi surat perwakilan masyarakat Lhoong dan aksi demo ratusan masyarakat Lhoong, Aceh Besar itu, kemarin, Wakil Ketua DPRA, Drs H Sulaiman Abda bersama empat anggota, H Guhfran Zainal Abidin MA (Komisi A), H Sidiq Fahmi SH (Komisi E), Drs H Jamaluddin T Muku (Komisi B), dan Samsul Bahri (Komisi B) mengirim surat kepada Gubernur Aceh mengusulkan penutupan operasi perusahaan tambang pasir besi tersebut.
“Usulan itu kami sampaikan kepada gubernur, selain karena adanya surat dari perwakilan masyarakat Lhoong tersebut di atas, juga disebabkan PT LSM yang telah diberi waktu satu bulan lebih untuk menuntaskan masalahnya dengan masyarakat di sekitar lokasi tambangnya di Lhoong tidak juga selesai, makanya DPRA harus mengambil sikap yang tegas,” kata Sulaiman Abda kepada pers, kemarin.
Pernyataan tegas itu, disampikan Sulaiman Abda, setelah menyerahkan salah satu kopian surat kepada perwakilan masyarakat Lhoong tentang usulan penutupan operasi PT LSM yang ditujukannya kepada Gubernur Aceh, 19 April 2010 lalu. Masyarakat Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, yang diwakili Ketua IPPEMAL Dahlil Bahagia, Ketua KML Muhajir, dan Korlap Demo Masyarakat Lhoong Marjani menyurati DPRA, setelah mereka melakukan demo dengan menggelar teatrikal dampak lingkungan dan kesehatan bagi masyarakat Lhoong dari kehadiran PT LSM, di halaman depan gedung DPRA.
0 komentar:
Posting Komentar