Serambi, Opini (7 Oktober 2009)
Global Climate Solution Declaration (GCS) merupakan puncak acara Governors Meeting on climate Change (CC) and Global Warming (GW) yang berlangsung di California 1-2 Oktober 2009 menghasilkan beberapa point penting antara lain memastikan tercapainya tujuan dari deklarasi GCS, mendorong peningkatan penggunaan transportasi dan mobilitas hijau serta mendukung proses legislasi perubahan iklim ditingkat nasional.
Gubernur Irwandi Yusuf, di antara gubernur yang ikut menandatangani naskah deklarasi tersebut. Ketika itu gubernur semakin yakin dengan keberlanjutan program Aceh Green Vision yang digagasnya untuk memerangi perubahan iklim dunia. Salah satunya diwujudkan dengan program moratorium illegal logging, perkebunan kelapa sawit dan carbon trade (perdagangan karbon). Sayangnya, setelah diperhatikan konsep Aceh Green Vision tersebut belum tersosialisasi dengan baik oleh pemerintah Aceh. Di sini jelas terlihat bahwa konsep itu hanya dibuat segelintir orang tanpa mengajak masyarakat untuk bersama-sama menyusunnya. Partisipasi yang selama ini digaungkan belum sepenuhnya dijalankan secara efektif oleh pemerintah.
Semangat dan keinginan pemerintah Aceh untuk “menghijaukan Aceh” di satu sisi adalah respon yang sangat positif, akan tetapi semangat tersebut tidak dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang lain. Contohnya, pemerintah Aceh sedang mengembangkan kebijakan yang terkait dengan investasi khususnya pertambangan. Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan rentan dalam menciptakan terjadinya berbagai kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak terarah apabila tidak ada kebijakan yang jelas yang berkaiatan dengan sektor ini. Pertanyaan mendasar adalah bagaimana mensinergikan program Aceh Green dengan pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya mineral pertambangan di Aceh?
Niat pemerintah Aceh dalam mewujudkan cita-cita pembangunan mendasar di Aceh yaitu pertumbuhan keswadayaan masyarakat, perluasan lapangan kerja serta pemerataan pendapatan memang patut mendapatkan apresiasi baik. Banyak hal yang telah dilakukan termasuk membuka kran investasi pengelolaan tanah dan sumber daya mineral Aceh. Jika peluang investasi yang saat ini terbuka dan hampir tak terbendung oleh peraturan serta kebijakan yang jelas maka lambat laun ini akan berdampak buruk bagi rakyat Aceh.
Jika kita mau mengingat sedikit latar belakang dari munculnya gejolak sosial di Aceh salah satunya adalah tidak adanya pemerataan pendapatan dari hasil investasi asing ke bumi serambi mekah ini. Persoalan bermunculan dimana para jargon-jargon investasi bersama petinggi-petinggi pemerintahan (termasuk di daerah) saat itu sudah cukup puas menikmati hasil eksploitasi sumber daya alam di Aceh. Konflik horizontal serta vertikal yang muncul sebagai dampak dari penguasaan sumber daya alam dan mineral Aceh dimasa lalu setidaknya menjadi salah satu dari substansi besar sebagai ujung pangkal konflik yang berkepanjangan di Aceh.
Daerah kaya inipun seakan menjadi wilayah yang hasil alamnya seperti tidak membekas sama sekali. Uang Aceh menjadi zat volatile yang setiap saat menguap ke daerah-daerah lain. Ketergantungan pangan serta energi terhadap daerah luar, buruknya akuntabilitas serta transparansi kepemerintahan menjadi pemicu dari kecemburuan sosial yang semakin lama membentuk hegemoni penindasan yang tersistem. Akhirnya rakyat Aceh akan menjadi “buya krueng teudoeng-doeng” di negerinya sendiri. Implikasi dari realita yang terjadi akan menjadikan masyarakat Aceh dengan karakter yang tak pernah kenal kompromi terhadap penindasan akan melahirkan konflik berkepanjangan yang menyengsarakan rakyat kecil.
Kekayaan Alam yang ada di Aceh sejatinya adalah rahmat Allah untuk masyarakat Aceh. Akan tetapi, jika cara mengelolanya yang tidak benar, manfaat itu hanya dirasakan segelintir orang. Sudah saatnya kita bangkit dengan visi yang lebih bernas dan prorakyat. Berbagai pemikiran dalam pengelolaan sektor sumber daya mineral/pertambangan, baik itu yang timbul dari kebijakan pemerintah maupun dari praktek investasi pertambangan itu sendiri menimbulkan beberapa permasalahan penting antara lain adanya UU No.11 tentang Pemerintahan Aceh tahun 2006 pada pasal 156 -161,Qanun No.12 dan 21 tahun 2002, hal ini sesungguhnya memberikan kewenangan penuh bagi rakyat Aceh dalam pengelolaan Sumbersdaya Mineral/ Pertambangan yang dimilikinya sehingga dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Namun sudah sejauh mana penyusunan Qanun yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya mineral yang notabene merupakan petunjuk pelaksanaan dari UU No 11 yang telah disahkan?
Ditetapkannya UU Minerba No.4 tahun 2009 yang akan digunakan sebagai panduan untuk pengelolaan sumberdaya mineral di Indonesia, bagaimana aplikasi dari diberlakukannya UU Minerba ini dalam pengelolan sumber daya mineral di Aceh? Apakah dengan disahkannya UU Minerba ini betul-betul berpihak kepada rakyat? Itulah beberapa pertanyaan yang mungkin timbul ketika kita membuka mata untuk melihat kondisi sektor pertambangan di Aceh saat ini. Ke depannya, pemerintah Aceh harus lebih serius menggarap sektor ini, persiapan regulasi yang tegas dan mengikat, strategi jangka panjang dan pendek serta yang paling penting hasilnya secara nyata dapat dirasakan oleh masyarakat Aceh. Maka dalam hal ini perlu adanya penyatuan visi dan konsep Aceh kedepan, pemerintah harus mampu mengeluarkan kebijakan yang saling mendukung satu sama lain.
Semangat menghijaukan Aceh, dan pengelolaan sumber daya alam harus berjalan berjalan beriringan. sehingga menjadikan sumber daya mineral betul-betul bisa menjadi modal untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tentunya pemerintah bukan hanya berusaha menarik investor sebanyak-banyaknya tetapi juga harus mampu melakukan pengawasan kinerja serta mempersiapkan SDM yang berkualitas sehingga mampu mengelola dan memanfaatkan sumberdaya Mineral Aceh yang akhirnya betul-betul bisa mensejahterakan rakyat. Sehingga menjadikan Aceh yang kaya seutuhnya.
M.Yasir Surya ( Sekjen LPSIPA )
0 komentar:
Posting Komentar