Nanggroe Aceh Darussalam adalah daerah yang memiliki lokasi yang sangat starategis dan dikaruniai sumber daya alam yang berlimpah. Hal ini apabila dikelola dan dimanfaatkan dengan baik akan dapat meningkatkan taraf hidup dan perekonomian rakyat Aceh.
Kebutuhan akan sumberdaya mineral dan energi, yang merupakan salah satu tulang punggung pembangunan Indonesia, semakin meningkat sejalan dengan kemajuan pembangunan. Kebutuhan tersebut tidak hanya ditujukan untuk ekspor dengan tujuan mendapatkan devisa yang diperlukan untuk membiayai pembangunan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Peningkatan ini tentunya memerlukan pengelolaan yang baik agar pemanfaatan sumberdaya mineral dan energi dapat dilakukan secara optimal dan sesuai dengan amanat dari pasal 33 UUD 1945.
Implikasi dari pelaksanaan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 dan PP no 25 tahun 2000 yaitu mengenai Otonomi Daerah dan pembagian kewenangan antar pusat ke daerah adalah daerah harus mempersiapkan diri untuk mengoptimalkan semua kekuatan/ potensi daerahnya untuk kemakmuran rakyat.
Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) yang telah disahkan pada tanggal 11 Juli 2006 oleh DPR RI, merupakan saat yang tepat bagi Pemerintah Aceh untuk menerapkan Good Governance dalam pengelolaan sumber daya alam, berbasis masyarakat dan berkelanjutan. UU PA ini memberikan potensi yang besar dalam meningkatkan keadilan sosial, keberlanjutan ekonomi dan mendorong terbentuknya pemerintahan Aceh yang baik.
Bidang pertambangan umum tak hanya memiliki manfaat fiskal, namun juga non fiskal. Selain menyediakan lapangan kerja yang cukup besar, sektor ini juga menjadi salah satu pusat pertumbuhan (center of growth) bagi daerah-daerah yang selama ini belum berkembang. Jika kita bertanya bagaimana kedepan nantinya, maka jawabannya perlu sinergi antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat yang merupakan aktifitas tanggung jawab sosial yang menjadi landasan fundamental bagi pertumbuhan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Ia tidak hanya berlaku bagi perusahaan namun juga bagi ’stakeholders’ secara keseluruhan. Dalam praktiknya hal itu sangat diperlukan aktifitas secara kuantitatif dan kualitatif yang tidak hanya wujud fisik semata namun penghormatan pada nilai sosial budaya. Agar hasil tambang dan kekayaan alam lainnya segera dapat dinikmati rakyat, maka ada tiga langkah yang dapat dilakukan segera menurut penulis;
Pertama, Institusi pendidikan di Aceh harus segera membuka program pendidikan ilmu kebumian, baik itu geologi, perminyakan atau pertambangan. Sepanjang pantai barat – selatan dan pantai timur – utara Aceh, serta pegunungan bukit barisan yang gagah membentang, banyak sekali objek yang dapat dijadikan studi ilmu kebumian yang bermuara pada tersingkapnya rahasia material – material tambang yang berharga.
Sebagai contoh, hamparan perbukitan batu gamping (limestone) di daerah Lhoknga, Aceh Besar yang kini dijadikan bahan baku pembuatan semen. Potensi tenaga panas bumi di Jaboi, Sabang. Manifestasi panas bumi (Ie seum) di Lamteuba, Aceh Besar, dan masih banyak objek ilmiah kebumian menghampar di sepanjang bumi dan bawah bumi Aceh yang belum tergali secara maksimal dari sisi penelitianya. Semakin banyak kajian ilmiah kebumian yang dihasilkan oleh institusi pendidikan, maka semakin kita mengerti betapa besarnya potensi kekayaan alam Aceh itu sendiri. Harapannya kalau pendidikan ilmu kebumian ada di Aceh, selain potensi kekayaan alam Aceh terpetakan, akan muncul pula para ahli dan sarjana ilmu kebumian produk asli Aceh.
Kedua, Acehnisasi Perusahaan minyak/tambang yang beroperasi di Aceh. Maksudnya adalah setiap perusahaan minyak atau tambang yang beroperasi di Aceh harus melibatkan pemerintah Aceh sebagai pemilik saham (shareholders). Dengan begitu, keuntungan yang akan diperoleh oleh pemerintah Aceh akan lebih optimal. Tidak hanya sekedar pendapatan dari pajak pertambangan yang jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan hasil produksi yang dinikmati kontraktor pengelola.
Keuntungan lain jika Pemerintah Aceh sebagai pemegang saham adalah dapat mengajukan kebijakan-kebijakan yang prorakyat dalam internal perusahaan, terutama untuk pembukaan lapangan kerja baru bagi para pengangguran dan kebijakan lainnya yang lebih menitikberatkan kepada community development. Sehingga perusahaan pengelola hasil tambang tidak hanya sekedar berbisnis dan menjadi pedagang.
Ketiga, pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak dibidang pertambangan baik energi (migas dan batubara) ataupun non energi (emas, tembaga, pasir besi, nikel dan lain-lain). Langkah ini sudah dijalankan oleh Provinsi Riau dengan membentuk perusahaan yang mengelola sumur-sumur tua penghasil migas untuk dilakukan optimisasi produksi. Secara ekonomi sebenarnya akan lebih baik hasil kekayaan Aceh dikelola oleh dirinya sendiri daripada mengundang investor luar untuk kemudian memakai sistem bagi hasil. Alasannya sederhana, keuntungan yang diperoleh akan berlipat ganda tanpa perlu dibagi lagi kepada investor pengelola. Tentu saja, dalam mengelola bisnis pertambangan resiko juga tidak kecil. Tetapi hasil yang akan diperoleh akan berbanding lurus dengan tingginya nilai resiko.
Kekayaan Alam yang ada di Aceh sejatinya adalah rahmat Allah untuk masyarakat Aceh. Akan tetapi, jika cara mengelolanya yang tidak benar, manfaat itu hanya dirasakan segelintir orang. Sudah saatnya kita bangkit dengan visi yang lebih bernas dan prorakyat. Tidak perlu takut investor enggan datang, karena mereka perlu menjaga kebutuhan energi di negara atau wilayahnya. Pun mereka juga perlu menjaga ketersediaan bahan baku (raw material) untuk industri-industrinya. Jadi, kalau mau bermain di Aceh, ikutlah aturan main yang ada di Aceh.
Kedepannya, Pemerintah Aceh harus lebih serius menggarap sektor ini, persiapan regulasi yang tegas dan mengikat, strategi jangka panjang dan pendek serta yang paling penting hasilnya secara nyata dapat dirasakan oleh masyarakat Aceh. Tidak seperti sekarang ini, secara umum kita mengetahui proporsi bagi hasil migas, tetapi nilai nominalnya tidak pernah dipublikasikan. Kita tidak ingin menjadi ”ayam mati dilumbung padi”, namun matinya bukan karena kekenyangan melainkan kerena kelaparan, sebab padinya milik orang lain.
Maka dalam hal ini perlu adanya penyatuan visi dan konsep Aceh kedepan, bagaimana menjadikan sumber daya mineral betul-betul bisa menjadi modal untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tentunya pemerintah bukan hanya berusaha menarik investor sebanyak-banyaknya tetapi juga harus mampu melakukan pengawasan kinerja yang akhirnya bisa betul-betul mensejahterakan rakyat.Sehingga menjadikan Aceh yang kaya Seutuhnya.
0 komentar:
Posting Komentar