Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit.Namun dari sisi lingkungan hidup, pertambangan dianggap paling merusak dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya. Pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak dan atau menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing, maupun batuan limbah, serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam.
Salah satu isu penting dalam pengembangan kegiatan pertambangan versus kelestarian lingkungan hidup adalah tumpang tindih dan konflik penggunaan lahan, terutama dengan kegiatan kehutanan. Di satu sisi, pertambangan merupakan andalan pemasukan devisa negara, sekaligus motor penggerak’ pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Di sisi lain, sektor kehutanan juga berperan penting dalam perekonomian nasional.
Masalah yang paling sering dibicarakan pada sektor kehutanan adalah gejala deforestasi, yakni luas hutan makin sempit karena desakan ekonomi, sementara lingkungan tetap menuntut adanya kelestarian hutan. Di sisi lain, masalah yang ditudingkan pada sektor pertambangan adalah pencemaran lingkungan.
Berikut beberapa masalah yang dihadapi sektor kehutanan dan pertambangan di Indonesia, sebagai wacana bahwa masalah yang dihadapi masing-masing sektor tidak hanya soal tumpang tindih penggunaan lahan saja.
Sektor Kehutanan :
1. Deforestasi
2. Kebakaran Hutan
3. Kebijakan Otonomi Daerah
4. Komplik Lahan
Sektor Pertambangan :
1. Ketidakpastian Kebijakan
2. Penambangan Liar
3. Komplik Dengan Masyarakat Lokal
4. Komplik Sektor Pertambangan dengan Sektor lainnya
Alternatif penyelesaian permasalahan tumpang tindih penggunaan lahan sektor pertambangan
tidak dapat digeneralisasi. Soalnya, meski memiliki masalah sama (di dalam kawasan lindung), namun tiap perusahaan memiliki karakteristik tersendiri, sehingga tidak dapat dipukulrata. Tiap perusahaan juga memiliki tahapan kegiatan berbeda. Seandainya tahapan itu sama, belum tentu penanganan yang sama dapat dilakukan sama. Kriteria prioritas penyelesaian berdasarkan pada tahapan kegiatan perusahaan tersebut, meliputi tahapan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi dan eksploitasi. Setiap tahap memiliki alternatif penyelesaian masing-masing.
Peluang ruang gerak lebih luas dan fleksibel terhadap kegiatan pertambangan, sebenarnya telah diatur dalam UU No. 41/1999 pasal 38 ayat 5: Pemberian ijin pinjam pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan mempertimbangkan bahwa pertambangan merupakan sektor berdampak dan bernilai
strategis, serta memiliki cakupan cukup luas, maka sektor ini patut diberi peluang berkembang, melalui alternatif penyelesaian yang tidak berat sebelah.
beberapa langkah teknis yang dapat ditempuh antara lain:
1. Re-scoring, dimaksud untuk meninjau ulang kriteria-kriteria yang digunakan dalam penentuan kawasan hutan lindung. Dari beberapa sumber, langkah seperti ini banyak pro dan kontra. Kalangan yang pro berpendapat bahwa re-scoring menunjukkan itikad baik pihak kehutanan untuk bekerja sama, juga dapat memperkuat batasan kawasan hutan lindung. Tetapi kalangan yang kontra memandang langkah ini memberi ketidakpastian berusaha, dan scoring dan rescoring pada dasarnya hanya langkah penetapan awal yang harus ditindaklanjuti dengan penelitian lapangan.
2. Perubahan Peruntukan, dengan pertimbangan bahwa secara prinsip hukum, semua perjanjian/kontrak yang telah ditandatangani pemerintah sebelum suatu undang-undang diterbitkan tetap harus dihormati keberadaannya (Lihat Tabel 3). Langkah ini sudah ditempuh, namun belum mendapatkan persetujuan DPR, sehingga Rancangan Keppres tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Lindung pada Wilayah Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang Telah Ada Sebelum Diundangkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Kawasan Non Hutan, belum dapat diterbitkan.
3. Peninjauan Ulang Zonasi Hutan Lindung, tindakan ini dilatarbelakangi masih buruknya sistem database basic map di Indonesia. Keragaman sumber peta dan ketidakseragaman metode pemetaan, menyebabkan peta-peta dasar yang dijadikan landasan penentuan zonasi hutan di Indonesia perlu ditinjau kembali. Peninjauan kembali ini dapat dilakukan sekaligus dengan mengkaji kembali scoring dalam PP Nomor 47 tahun 1997. Scoring tersebut kemudian dikombinasikan dengan teknologi citra satelit yang mampu menggambarkan penampakan asli permukaan bumi. Penggunaan teknologi ini kemudian dikombinasikan dengan survai lapangan untuk melihat langsung kondisi lapangan dan mengecek ketepatan penerapan scoring. Penggunaan teknologi citra satelit tersebut, digunakan pendekatan/metodologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing) dan GIS (Geographic Information System).
2 komentar:
Viva Miners
ada ttg masalah pertambangan non migas gol C?
Posting Komentar